Restitusi Dianggap sebagai Objek Pajak

Sumber:
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam UU PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, dan penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- Penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
- Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf e UU PPh menyebutkan pengembalian pajak (restitusi) yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak merupakan objek pajak. Misalnya, pajak bumi dan bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian itu merupakan penghasilan.
Beban pajak yang dapat dibebankan dapat merujuk pada Pasal 6 Ayat (1) UU PPh yang mengatur jenis biaya apa saja yang dapat dijadikan sebagai pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pajak yang menjadi beban perusahaan karena usahanya selain pajak penghasilan tersebut antara lain seperti pajak bumi dan bangunan (PBB), bea meterai, pajak hotel, atau pajak restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Tanggal: 24 Juni 2024