Redefinisi Penyerahan Barang Kena Pajak

Sumber:
Oleh: Thomson Sirait
Secara umum perubahan menyangkut perpajakan di UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja ada di Bagian Ketujuh. Perubahan dimulai dari Pasal 111 yang merubah UU tentang Pajak Penghasilan, dilanjutkan Pasal 112 yang melakukan perubahan UU tentang Pajak Pertambahan Nilai dan terakhir Pasal 113 yang melakukan perubahan UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
Khusus tentang Pasal 112 yang melakukan perubahan UU tentang Pajak Pertambahan Nilai dimulai dari dilakukannya perubahan (redefenisi) pengertian penyerahan barang kena pajak yang efektif berlaku sejak tanggal 02 November 2020. Ada 2 (dua) perubahan yang cukup penting tentang pengertian penyerahan barang kena pajak yakni:
- Penyerahan barang kena pajak yang dilakukan secara konsinyasi yang di Pasal 1A ayat (1) huruf g UU No.42 Tahun 2009 merupakan penyerahan barang kena pajak tetapi dalam UU No.11 Tahun 2020 penyerahan barang secara konsinyasi sudah dicabut (dihapus) sehingga penyerahan BKP secara konsinyasi tidak lagi termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak;
- Perubahan dalam pengalihan barang kena pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham yang di UU No.42 Tahun 2009 termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak, dalam Pasal 112 UU No. 11 tahun 2020 merubah Pasal 1A ayat (2) huruf d UU No.42 tahun 2009 bahwa pengalihan barang kena pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak.
Dampak positif pencabutan konsinyasi dari pengertian penyerahan BKP
Dalam dunia bisnis khususnya bisnis perdagangan sangat lazim dilakukan dengan cara konsinyasi barang, baik dari produsen/pabrikan ke distributor dan dari distributor ke toko-toko pengecer. Dalam UU No.42 Tahun 2009 yang berlaku sebelumnya maka ketika pabrikan atau distributor melakukan penyerahan barang secara konsinyasi ke toko-toko pengecer harus menerbitkan Faktur Pajak. Demikian juga sebaliknya ketika toko-toko pengecer melakukan retur barang yang dikonsinyasi tersebut ke distributor juga harus menerbitkan Nota Retur Pajak.
Kondisi ini tentu sangat memberatkan bagi distributor dan toko-toko retail yang mengelola ratusan mungkin ribuan item barang karena membutuhkan sumber daya manusia yang cukup banyak dan sarana prasarana yang harus mendukung. Kesalahan atau kelalaian baik dalam proses penerbitan Faktur Pajak dan Nota Retur Pajak ini maka distributor dan Toko retail terancam sanksi administrasi yang cukup berat.
Dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini yang mencabut (menghapus) penyerahan barang secara konsinyasi dari pengertian penyerahan barang kena pajak tentu sangat melegakan buat dunia bisnis khususnya bisnis perdagangan retail. Faktur tagihan (invoice) dan faktur pajak dapat diterbitkan pada saat penjualan terjadi di toko. Dan pengembalian barang konsinyasi dari toko ke distributor cukup dengan nota retur komersial, tidak perlu lagi menerbitkan Nota Retur Pajak.
Penyerahan BKP sebagi setoran modal pengganti saham (imbreng)
Hal yang sama juga tentang penyerahan barang kena pajak sebagai setoran modal pengganti saham yang selama ini merupakan penyerahan barang kena pajak maka dengan berlakunya UU No.11 tahun 2020 setiap penyerahan barang dengan tujuan setoran modal sebagai pengganti saham bukan termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak lagi dengan syarat yang harus dipenuhi bahwa pihak yang melakukan pengalihan dan pihak yang menerima adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Syarat yang tercantum dalam Pasal 112 menyebutkan bahwa pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima adalah Pengusaha Kena Pajak tentu cukup membebani terutama untuk pelaku di sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang secara threshold memiliki hak untuk menjadi non PKP ketika penjualannya belum melampaui 4,8 Milyar dalam satu tahun. Padahal salah satu tujuan Pemerintah mengeluarkan UU Omnibus Law ini salah satunya adalah dalam rangka memberikan insentif atau kemudahan-kemudahan berbisnis khususnya bagi pelaku UMKM.