PSAK 73 Berlaku Awal 2020, Apa Implikasi Pajaknya?

Sumber: Freepik
Mulai tahun 2020, setiap perusahaan diwajibkan mengadopsi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 tentang sewa. PSAK 73 tersebut mengubah pembukuan pada aset yang disewa, dimana perusahaan harus mengakui aset yang disewa dalam neraca, dan menyusutkan secara periodik seolah-olah seperti sewa dengan hak opsi (finance lease), walaupun dalam perjanjian awal sewa tersebut merupakan sewa tanpa hak opsi (operating lease).
Selanjutnya, bagaimana perlakuan pajak atas perubahan metode pengakuan sewa yang disebabkan karena perubahan PSAK tersebut? Apakah perlakuan pajaknya mengikuti perlakuan akuntansinya?
Mekanisme pembukuan telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 (UU KUP). Pasal 28 Ayat (1), Ayat (3), dan Ayat (7) UU KUP mengatur bahwa Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pembukuan tersebut sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian.
Lebih lanjut, penjelasan Pasal 28 Ayat (7) UU KUP menyatakan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalkan berdasarkan SAK, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Peraturan yang mengatur tentang sewa adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 (KMK 1169) tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang telah berlaku sejak 19 Januari 1991 dan masih berlaku sampai saat ini. Dalam Pasal 2 Ayat (1) KMK 1169, aktivitas sewa dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) dan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Adapun persyaratan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) sesuai Pasal 3 KMK 1169 adalah sebagai berikut:
- jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
- masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
- perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Sementara itu, persyaratan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) sesuai Pasal 4 KMK 1169 adalah sebagai berikut:
- jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
- perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun kegiatan sewa tersebut menurut PSAK 73 yang terbaru dianggap sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), namun perlakuan pajaknya tetap mengacu pada sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) sesuai dengan penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP.