Senin-Jumat, Pukul 08.00-17.00 WIB

WISMA KORINDO Lt. 5 MT. Haryono Kav. 62, Pancoran Jakarta Selatan 12780

(021) 79182328

07 May 2025

Pokok Perubahan Ketentuan Transfer Pricing dalam PMK 172 Tahun 2023

Hero

Sumber: Freepik

Pada saat persiapan, jangan lupa bahwa dasar hukum yang dipergunakan untuk penyusunan dokumen transfer pricing tahun pajak 2024 adalah merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa (PMK 172/2023) yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 2023. Terdapat beberapa pengaturan baru dalam PMK 172/2023 yang harus kita perhatikan dalam proses penyusunan dokumen transfer pricing. Mari kita akan bahas secara detil sebagian perubahannya.

 

Pengaturan Baru dalam PMK 172/2023

 

Secara umum, terdapat 7 (tujuh) pokok pengaturan baru sehubungan dengan transfer pricing yang diatur dalam PMK 172/2023, yaitu:

  1. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU);
  2. Penyesuaian keterkaitan (corresponding adjustment) untuk transfer pricing domestik;
  3. Koreksi sekunder (secondary adjustment);
  4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
  5. Dokumen Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing Documentation);
  6. Prosedur Persetujuan Bersama (Multilateral Agreement Procedure atau MAP); dan
  7. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement atau APA).

 

  1. PKKU dan Perluasan Konsep Hubungan Istimewa dalam PMK 172/2023

Secara definisi, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (Arm’s Length Principle/ALP) yang disebut juga dengan PKKU adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan sebagaimana transaksi independen. Definisi tersebut sama dengan definisi PKKU sebagaimana diatur dalam PMK 22/2022, namun sedikit berbeda dengan definisi PKKU sebagaimana diatur dalam PMK 213/2016. 

 

Sebelumnya dalam Pasal 1 PMK 213/2016, PKKU didefinisikan sebagai prinsip yang mengatur bahwa dalam hal kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang dijadikan sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dimaksud harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.

 

Definisi PKKU dalam PMK 213/2016 terbatas pada lingkup transaksi hubungan istimewa, yaitu transaksi afiliasi karena adanya kepemilikan, kekuasaan, dan hubungan keluarga. Sedangkan PMK 172/2023 memperluas klausul dengan menambahkan aturan terkait transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa secara sederhana dijelaskan sebagai transaksi dengan adanya keterikatan dan ketergantungan. Transaksi tersebut pada dasarnya dilakukan antarpihak independen, namun lawan dan harga transaksi telah diatur sehingga pada akhirnya transaksi menjadi tidak independen. 

 

Lebih lanjut berdasarkan PMK 172/2023, tidak ada perbedaan dalam penerapan PKKU untuk transfer pricing yang dilakukan antar Wajib Pajak dalam negeri (transfer pricing domestik) dan untuk transfer pricing yang dilakukan antara Wajib Pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri lainnya (transfer pricing cross border). Dalam hal ini, PMK 172/2023 melengkapi ketentuan terkait corresponding adjustment untuk transfer pricing domestik.

 

  1. Corresponding Adjustment dalam Transfer Pricing Domestik

Corresponding adjustment merupakan penyesuaian transfer pricing untuk menghitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut dari penyesuaian transfer pricing lawan transaksi yang ditentukan atau dikoreksi oleh otoritas pajak. Sebagai informasi, penyesuaian semacam ini sebelumnya diatur dalam Pasal 21 PER-43/PJ/2010. Ketentuan tersebut mengatur bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap penghitungan penghasilan kena pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas penyesuaian yang dilakukan oleh DJP atau otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan oleh lawan transaksi Wajib Pajak tersebut (primary adjustment). Secara sederhana, corresponding adjustment muncul karena adanya pemeriksaan pajak pada lawan transaksi, baik domestik maupun cross border.

 

Dalam melakukan corresponding adjustment untuk transfer pricing domestik, PMK 172/2023 mengatur bahwa Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus disetujui dan tidak diajukan upaya hukum. Selain itu, corresponding adjustment harus diinisiasi oleh Wajib Pajak lawan transaksi. 

 

Corresponding adjustment dilaksanakan melalui mekanisme dengan pembetulan SPT Tahunan (apabila belum pemeriksaan), penerbitan SKP (apabila sedang dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran), atau pembetulan SKP secara jabatan (apabila telah diterbitkan SKP dan tidak mengajukan upaya hukum). Dalam hal primary adjustment dilakukan terhadap lawan transaksi subjek pajak luar negeri, corresponding adjustment Wajib Pajak dilakukan melalui prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure atau MAP).

 

  1. Secondary Adjustment dan Transaksi yang Diperlakukan sebagai Dividen

Selain memperjelas ketentuan corresponding adjustment, PMK 172/2023 juga memperjelas ketentuan secondary adjustmentSecondary adjustment timbul dalam hal terdapat SKP atau pembetulan SPT Tahunan akibat penentuan kembali harga transfer (primary adjustment) oleh DJP dalam hal:

  1. Wajib Pajak tidak menerapkan PKKU; 
  2. Wajib Pajak menerapkan PKKU namun tidak sesuai ketentuan; 
  3. Wajib Pajak tidak dapat membuktikan keterpenuhan tahapan pendahuluan; atau
  4. Harga transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi PKKU.

 

Ketentuan secondary adjustment pada PMK 172/2023 konsisten dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2023 (PP 55/2023), yaitu bahwa selisih antara nilai wajar yang memenuhi PKKU dan nilai transaksi sebenarnya dianggap sebagai pembagian laba secara tidak langsung, sehingga diperlakukan sebagai dividen dan akan dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 bahwa dividen hanya dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sepanjang dibagikan berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau dividen interim.

 

Namun, sesuai ketentuan Pasal 37 Ayat (4) PMK 172/2023, saat ini terdapat mekanisme bahwa Wajib Pajak dapat menghilangkan secondary adjustment. Secondary adjustment tidak berlaku dalam dua kondisi, yaitu:

  1. Terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana dimaksud (terjadi sebelum terbit SKP pada saat proses pemeriksaan); dan/atau
  2. Wajib Pajak menyetujui harga transfer yang ditentukan DJP.

 

Ujung dari kedua kondisi di atas adalah adanya pengembalian kas. Dalam hal Wajib Pajak hanya menyetujui harga transfer yang ditentukan DJP, Wajib Pajak tersebut harus memperbaiki pembukuannya terlebih dahulu. Dalam hal secondary adjustment telah hilang atau tidak berlaku, ketentuan atas tetap ada.