Permasalahan Penerapan TER Pada Penghitungan PPh Pasal 21

Sumber:
Penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) pada penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dapat menimbulkan beberapa permasalahan di lapangan.
Pertama, jangka waktu yang singkat dari diterbitkannya peraturan hingga mulai berlakunya peraturan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023) diundangkan tanggal 29 Desember 2023 dan mulai berlaku untuk masa Januari 2024. Waktu yang singkat ini tentunya akan membuat “kerja lembur” bagi para pemotong pajak untuk menghitung PPh Pasal 21. Segalanya harus dilakukan dalam waktu yang singkat: penyesuaian sistem, kertas kerja perhitungan, hingga penyesuaian pelaporan ke e-Bupot 21/26. Di sisi lain, risiko kesalahan perlu diminimalisir untuk mencegah adanya exposure di kemudian hari.
Kedua, perlunya sosialisasi kepada para karyawan maupun penerima penghasilan lainnya. Hal ini diperlukan agar tercipta kesepahaman bersama antara pemberi kerja dan karyawan mengingat masalah penghasilan merupakan hal yang sangat sensitif. Penerima penghasilan perlu bersiap menghadapi beberapa perubahan terkait besaran penghasilan yang mereka terima.
Ketiga, munculnya kemungkinan permasalahan pada penghitungan PPh Pasal 21 karyawan tetap seperti:
- Pada karyawan yang berpenghasilan tetap setiap bulan dan mendekati jumlah PTKP serta berada dalam rentang tarif PPh Pasal 21 sebesar 5%, apabila terdapat lonjakan/tambahan penghasilan dalam tahun berjalan (seperti bonus/THR), penerapan TER akan cenderung menyebabkan terjadinya lebih bayar di akhir tahun.
- Pada karyawan yang berpenghasilan tetap setiap bulan besar secara nominal (berada pada rentang tarif PPh Pasal 17: 25%, 30% dan 35%), penerapan TER akan menyebabkan PPh Pasal 21 masa yang dibayar lebih kecil daripada penerapan tarif PPh Pasal 17, namun di akhir tahun kemungkinan besar akan terjadi kekurangan bayar pajak yang jumlahnya signifikan.
- Jika karyawan masuk kerja di dalam tahun berjalan (misalnya di tengah tahun), kecenderungan akan terjadi lebih bayar di akhir tahun terutama bagi karyawan yang memperoleh penghasilan bruto di bawah PTKP Tahunan tetapi pada penghitungan PPh Pasal 21 berjalan telah masuk dalam kategori penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 dengan menggunakan TER.
Keempat, kewajiban pembuatan bukti potong di setiap hari untuk karyawan yang menerima upah harian akan menambah beban kerja administratif bagi pemberi kerja. Hal ini bertentangan dengan tujuan awal penerapan TER yang digadang-gadang untuk simplifikasi penghitungan.
Kelima, penghitungan PPh Pasal 21 Bukan Karyawan akan menimbulkan kurang bayar yang signifikan pada PPh Orang Pribadi. Hal ini dapat terjadi karena penghitungan PPh Pasal 21 tidak lagi didasarkan pada jumlah kumulatif penghasilan yang diperoleh, walaupun penghitungan PPh Pasal 21-nya tidak menggunakan TER. Sehingga, jika PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja maka seolah-olah terdapat shifting PPh Pasal 21 yang seharusnya ditanggung perusahaan kepada karyawan yang mengakibatkan kurang bayar yang signifikan pada PPh Orang Pribadinya.
Keenam, kelebihan bayar PPh Pasal 21 di akhir tahun dapat menimbulkan permasalahan cashflow bagi pemberi kerja. Walaupun dari sisi SPT Masa terdapat opsi restitusi ke masa berikutnya, perusahaan harus mendistribusikan kelebihan bayar pajak ke masing-masing karyawan.
Ketujuh, pemberlakuan e-Bupot 21/26 akan menimbulkan isu confidentiality karena informasi gaji dapat diakses oleh siapa saja yang mengakses DJP Online. Merespon permasalahan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengatakan bahwa e-Bupot 21/26 akan terus menyempurnakan fitur-fitur untuk mengakomodir kebutuhan para wajib pajak.