Senin-Jumat, Pukul 08.00-17.00 WIB

WISMA KORINDO Lt. 5 MT. Haryono Kav. 62, Pancoran Jakarta Selatan 12780

(021) 79182328

20 October 2025

Menutup Celah Underground Economy Lewat Pajak Jastip

Hero

Sumber: Freepik

Ekonomi bawah tanah alias underground economy kini menjadi tantangan bagi nyaris seluruh negara di dunia. Underground economy merupakan semua aktifitas ekonomi, baik yang legal atau ilegal, yang tidak tercatat secara resmi dalam perhitungan produk domestik bruto. International Monetary Fund (IMF) mencatat aktivitas underground economy di negara berkembang mencapai 30% hingga 40% dari PDB. Sementara di Indonesia, porsinya diperkirakan sebesar 22%-30%.

Menurut laporan Badan Pusan Statistik (BPS), persentase pekerja informal di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 59,40% atau setara 86,58 juta pekerja. Data itu menunjukkan besarnya sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan nasional. Catatannya, besarnya sektor informal ini sekaligus membuka ceruk penerimaan negara yang berpotensi hilang.

Melihat Fenomena Jasa Titip (Jastip)

Fenomena jastip merupakan bagian dari kegiatan ekonomi informal yang mulai berkembang pesat sejak era pandemi Covid-19. Usaha jastip ini cukup menghasilkan cuan. Pelaku jastip memanfaatkan selisih harga dan aksesibilitas produk seperti makanan, baju, skincare, make-up, hingga tiket konser untuk memenuhi kebutuhan konsumen, baik dari luar negeri maupun domestik.

Yang jadi tantangan, sebagian besar aktifitas jastip masih beroperasi di luar pengawasan pajak. Banyak pelaku yang mengirim barang dengan memecah pesanan untuk menghindari bea masuk dan PPN. Mereka juga bisa memanfaatkan celah aturan ‘barang pribadi’ untuk menghindari pengenaan pajak.

Kondisi tersebut tentunya berpotensi menggerus penerimaan negara. Maraknya fenomena usaha jastip juga memunculkan persaingan bisnis yang tidak sehat karena adanya perang harga.

Tantangan Pemajakan Jastip

Menurut penulis setidaknya ada 3 (tiga) tantangan yang dihadapi otoritas pajak dalam mengenakan pajak atas usaha jastip. Pertama, praktik bunching yang merupakan strategi pelaku usaha membatasi pendapatan agar tetap di bawah ambang batas PPh Final UMKM. Dengan cara ini, pelaku usaha dapat mempertahankan tarif rendah tanpa masuk ke golongan pajak yang lebih tinggi. Praktik tersebut sering dilakukan dengan memecah transaksi melalui pemecahan rekening, ataupun membagi omzet ke beberapa identitas untuk menghindari kewajiban pajak yang lebih besar.

Kedua, banyak pelaku jastip yang memanfaatkan celah impor barang pribadi. Barang titipan sering kali dikategorikan sebagai ‘barang bawaan’ agar terbebas dari bea masuk, padahal seharusnya tetap wajib dikenai pajak.

Ketiga, minimnya integrasi data antara marketplace, e-wallet, dan otoritas pajak. Transaksi jastip yang banyak dilakukan melalui media sosial atau aplikasi digital sulit dilacak bila tidak ada pertukaran data (data sharing). Padahal pola belanja digital terus meningkat sehingga membutuhkan sistem pengawasan berbasis teknologi.

Keempat, masalah kepercayaan publik juga menjadi hambatan. Banyak pelaku usaha informasi enggan masuk ke sistem resmi karena birokrasi dianggap rumit, tidak transparan, dan kurang memberi manfaat langsung.

Perasaan ‘tidak adil’ yang dialami pelaku usaha muncul ketika pajak dipungut tanpa adanya kejelasan pemanfaatannya dalam APBN. Hal ini memperburuk compliance gap dan menghambat kepatuhan sukarela.

Strategi dan Solusi

Optimalisasi pajak jastip perlu dilakukan dengan skema sederhana dan proporsional. Salah satunya melalui penerapan PPh Final UMKM dengan tarif rendah (0,5% atas omzet) bagi pelaku jastip domestik. Untuk jastip luar negeri diperlukan regulasi jelas terkait bea masuk dan pajak impor agar tercipta keadilan dengan ritel resmi.

Digitalisasi dan integrasi sistem juga sangat penting. Data dari marketplace, e-wallet, dan payment gateaway perlu dihubungkan dengan otoritas pajak untuk mengurangi praktik underreporting. Pemanfaatan sistem Coretax dan big data analytics dapat membantu mendeteksi otomatis transaksi jastip yang belum tercatat.

Selain pendekatan teknis, insentif dan edukasi juga perlu diperkuat. Literasi pajak berbasis digital harus menyasar pelaku jastip yang mayoritas generasi muda. Insentif berupa kemudahan akses pembiayaan bank atau financial technology bagi wajib pajak yang memiliki NPWP dan patuh pajak dapat mendorong kepatuhan sukarela.

Indonesia dapat belajar dari Malaysia yang melalui voluntary disclosure programme, berhasil mendapatkan sebanyak RM 7,88 miliar dari wajib pajak yang sebelumnya tidak patuh.

Program ini menunjukkan bahwa kesempatan mengungkap kewajiban pajak secara sukarela dapat meningkatkan penerimaan tanpa resistensi. Malaysia juga berhasil memperluas basis pajak melalui penerapan layanan digital 8% yang mulai berlaku pada tahun 2024. Kebijakan ini menambah miliaran ringgit dalam penerimaan service tax dari perusahaan teknologi global.

Bukti ini menunjukkan bahwa regulasi pajak yang jelas dan adaptif mampu memperluas basis pajak sekaligus menjaga iklim usaha tetap sehat.

Langkah terakhir adalah membangun kepercayaan publik. Transparansi alokasi pajak melalui dashboard publik akan membantu mengurangi rasa ketidakadilan. Dengan menekankan bahwa pajak yang dibayarkan kembali dalam bentuk pembangunan dan fasilitas umum, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dapat tumbuh lebih kuat.

Pada akhirnya jastip mencerminkan perkembangan ekonomi digital dan informasi sekaligus peluang penerimaan negara yang belum tergarap. Dengan regulasi yang adil, sederhana, dan transparan, pajak dari sektor jastip dapat menjadi sumber penerimaan baru tanpa memberatkan pelaku usaha kecil.

Pengalaman di Malaysia membuktikan bahwa kombinasi dari voluntary disclosure dan pajak digital 8% efektif memperluas basis pajak di sektor informal dan digital.

Indonesia juga mengadopsi strategi serupa sembari memastikan regulasi jastip jelas dan terintegrasi. Dengan begitu perluasan basis pajak tidak hanya menutup celah penerimaan dari underground economy, tapi juga menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan berkeadilan.