Senin-Jumat, Pukul 08.00-17.00 WIB

WISMA KORINDO Lt. 5 MT. Haryono Kav. 62, Pancoran Jakarta Selatan 12780

(021) 79182328

26 September 2022

Mengenal Joint Cost dalam Perpajakan

Hero

Sumber:

Apakah ada yang sudah lekat dengan istilah Joint Cost? Atau justru baru mencari tahu mengenai apa itu joint cost? Joint cost secara definitif artinya adalah biaya bersama, yaitu pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) suatu penghasilan yang dikenakan PPh Final dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan 3M suatu penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final.

Jadi, kurang lebih bisa dikatakan bahwa Joint Cost itu terjadi karena Wajib Pajak memiliki penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final dan PPh yang bersifat tidak final. Ketentuan perpajakan mewajibkan Wajib Pajak untuk melakukan pembukuan yang terpisah untuk kedua hal tersebut, tidak boleh dicampur adukkan. Logika sederhananya, ketika otoritas pajak memisahkan antara hal yang final dan tidak final, objek dan non objek, mendapatkan fasilitas atau tidak – maka, kita sebagai Wajib Pajak juga diharapkan memisahkan pembukuan untuk hal-hal tersebut karena secara pajak nantinya juga tidak bisa disamakan perlakuannya. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Contohnya, PT ABC yang bergerak di bidang distribusi, dimana penghasilan utamanya sebagai distributor terutang objek pajak dan terutang PPh Non final (normal), namun memiliki investasi instrument keuangan misalnya reksadana atau deposito atau obligasi dan kemudian mendapatakan penghasilan bunga. Kita ketahui bahwa penghasilan bunga dari deposito/reksadana tersebut kan terutang PPh Final. Maka, PT ABC memiliki penghasilan final dan non final. Dengan demikian, menurut PP 94 Tahun 2010, PT ABC seharusnya memiliki pemisahan biaya Perusahaan dalam rangka memperoleh penghasilan yang berbeda nature tersebut. Perusahaan wajib memperhitungkan joint cost.

Salah satu isu yang seringkali timbul terkait joint cost ini biasanya dalam proses pemeriksaan pajak, yaitu perbedaan pemahaman dan penafsiran biaya bersama (Joint Cost). Diantaranya yang pernah kami temui adalah:

  1. Joint cost yang telah dibebankan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh Badan dengan pemahaman fiskus atas joint cost tersebut, yang akan melakukan pengujian SPT PPh Badan, atau
  2. Wajib Pajak yang sama sekali belum melakukan perhitungan joint cost tapi mempunyai penghasilan final dan non final/objek dan non objek/fasilitas dan non fasilitas.

Bahwa dalam praktiknya, asal mula keperluan adanya Joint Cost tidak terlepas dari pembukuan yang dilakukan sebagai suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 UU KUP) serta pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang (Pasal 28 ayat (7) UU KUP).

Lebih lanjut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:

  1. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
  2. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
  3. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan (Pasal 27 ayat (1) dan (2) PP-94/2010).

Dengan melakukan pemisahan biaya-biaya yang terkait dengan Penghasilan Non-Final dan Penghasilan Final, baik pembukuan yang sedari awal dipisah atau menghitung proporsional, maka dapat menghindari terjadinya koreksi fiskal proporsional keseluruhan atas seluruh biaya yang dilakukan oleh fiskus dalam pengujian SPT PPh Badan.

Tak lupa, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini DJP, pernah menerbitkan penegasan dalam Surat Edaran Nomor 46/PJ.4/1995, yang didalamnya mengatur perlakuan perhitungan biaya bersama. Mungkin rekan-rekan bisa jadikan pedoman ya!

Lebih baik antisipasi memperhitungkan joint cost sendiri dengan faktor-faktor yang rasional kan, daripada jadi koreksi dari Pemeriksa? ?