Memahami Debt to Equity Ratio di Dalam Perpajakan

Sumber:
Oleh: Andini M. Tarigan
Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal atau yang biasa disebut dengan Debt to Equity Ratio. Awalnya pada PMK 1002/KMK.04/1984 besaran yang ditetapkan adalah paling tinggi tiga dibanding satu (3:1). Namun, peraturan ini diperbarui melalui PMK 169/PMK.010/2015 menjadi paling tinggi empat dibanding satu (4:1). Pembaruan ini dikarenakan besaran sebelumnya dikhawatirkan akan menghambat perkembangan dunia usaha.
Debt to Equity Ratio = Total Utang/Total Modal
Utang yang dimaksud adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
a. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo utang meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo utang jangka pendek termasuk saldo utang dagang yang dibebani bunga. Lalu, modal yang dimaksud adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
a. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo modal meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa. Namun, ada beberapa Wajib Pajak yang dikecualikan dari ketentuan perbandingan utang dan modal tersebut yaitu:
- Wajib Pajak bank;
- Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
- Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
- Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
- Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
- Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Menurut Pasal 7 PER - 25/PJ/2017, Wajib Pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham yang memiliki utang dan mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal atau tidak menggunakan format laporan sesuai Lampiran B PER – 25/PJ/2017, maka SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.