Kapan Perusahaan Harus Daftar Pengusaha Kena Pajak?
Sumber: Freepik
Bagi banyak pelaku usaha, istilah PKP atau Pengusaha Kena Pajak sering terdengar, tetapi tidak semua memahami kapan status ini wajib dimiliki. PKP adalah pengusaha yang diwajibkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Status ini sering kali menjadi penanda kepatuhan, sekaligus tiket untuk dipercaya dalam proyek-proyek besar.
Kewajiban menjadi PKP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN. Aturan ini menetapkan bahwa apabila omzet usaha dalam satu tahun melebihi Rp4,8 miliar, pengusaha wajib mendaftarkan diri sebagai PKP. Sebaliknya, jika omzet masih di bawah angka tersebut, maka usaha digolongkan sebagai pengusaha kecil dan tidak diwajibkan menjadi PKP. Meski demikian, peraturan juga memberikan opsi bagi pengusaha kecil untuk mendaftar secara sukarela. Lebih lanjut, melalui PMK Nomor 81 Tahun 2024, bahkan usaha yang menggunakan kantor virtual (virtual office) pun dapat mengajukan pengukuhan PKP.
Menariknya, banyak UMKM tetap memilih mendaftar PKP meskipun omzetnya belum mencapai ambang batas. Ada beberapa alasan di balik keputusan ini. Perusahaan besar, BUMN, atau instansi pemerintah biasanya hanya mau bekerja sama dengan rekanan yang sudah berstatus PKP. Status PKP juga dapat meningkatkan kredibilitas usaha karena dianggap lebih profesional dan patuh. Dari sisi administrasi, PKP berhak mengkreditkan PPN Masukan atas pembelian barang dan jasa, serta dapat memanfaatkan berbagai insentif perpajakan yang berlaku. Dengan demikian, menjadi PKP bukan hanya soal kewajiban pajak, tetapi juga strategi untuk membuka peluang bisnis yang lebih luas.
Agar dapat dikukuhkan sebagai PKP, pengusaha harus memenuhi beberapa persyaratan administratif. Berdasarkan ketentuan Direktorat Jenderal Pajak, syarat utama meliputi: telah menyampaikan SPT Tahunan minimal dua tahun terakhir, tidak memiliki tunggakan pajak (atau sudah mendapat persetujuan cicilan/penundaan), serta memiliki tempat usaha yang jelas, baik berupa kantor fisik maupun kantor virtual.
Sebaliknya, jika perusahaan seharusnya sudah wajib menjadi PKP namun tidak segera mendaftar, terdapat konsekuensi yang cukup berat. Direktorat Jenderal Pajak berwenang mengenakan sanksi administratif, melakukan pemeriksaan pajak, serta tetap menagih PPN yang seharusnya dipungut sejak omzet melewati Rp4,8 miliar. Selain risiko finansial, perusahaan juga bisa kehilangan kesempatan kerja sama dengan klien besar dan merusak reputasi bisnis karena dianggap tidak patuh pajak.
Secara sederhana, perbedaan PKP dan non-PKP dapat dilihat dari kewajiban dan haknya:
- PKP: wajib memungut PPN, menerbitkan faktur pajak, melaporkan SPT Masa PPN bulanan, dan berhak mengkreditkan PPN Masukan.
- Non-PKP: tidak wajib memungut PPN dan tidak dapat membuat faktur pajak, biasanya hanya dikenakan PPh Final UMKM sebesar 0,5% sesuai PP Nomor 55 Tahun 2022 (dengan jangka waktu tertentu).
Pada akhirnya, keputusan untuk mendaftar sebagai PKP tidak hanya menyangkut kepatuhan hukum, tetapi juga arah bisnis yang ingin ditempuh. Bagi usaha kecil, PKP bisa menjadi strategi untuk meningkatkan kredibilitas dan mengakses proyek-proyek besar. Sedangkan bagi usaha yang omzetnya sudah melampaui Rp4,8 miliar, mendaftar sebagai PKP adalah kewajiban hukum yang tidak bisa ditunda.