Jenis-Jenis Permohonan Pengurangan/Pembatalan Sanksi/Sejenisnya

Sumber: Freepik
I. Pasal 16 UU KUP
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada pasal ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
Pengertian “membetulkan” pada pasal ini, antara lain menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
II. Pasal 36 UU KUP
Dalam Pasal 36 Ayat 1 UU KUP disebutkan bahwa:
“Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.”
Adapun syarat dan ketentuan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi diatur dalam PMK 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
Berdasarkan pada Pasal 2 Ayat (1) PMK 8/PMK.03/2013, pengurangan atau penghapusan sanksi tersebut hanya dapat diberikan otoritas pajak jika sanksi dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya sendiri.
Terdapat 3 sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan pada permohonan Wajib Pajak yang diatur dalam Pasal 4 PMK 8/PMK.03/2013, yaitu:
1. Sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak (SKP).
2. Sanksi administrasi yang tercantum dalam surat tagihan pajak (STP) yang berkaitan dengan penerbitan SKP. Pengurangan atau penghapusan tersebut tidak diberikan terhadap sanksi administrasi dalam STP yang diterbitkan berdasarkan pada Pasal 25 Ayat (9) dan Pasal 27 Ayat (5d) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
3. Sanksi administrasi yang tercantum dalam STP selain yang dimaksud dalam poin kedua.
Permohonan pengurangan sanksi dapat diajukan apabila perhitungan besaran sanksi dalam SKP/STP tersebut tidaklah benar. Sementara itu, permohonan penghapusan sanksi diajukan apabila Wajib Pajak merasa sanksi tersebut tidak seharusnya dikenakan.
III. PMK 187/PMK.03/2015
Selain melakukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi atas STP yang tidak benar, Wajib Pajak juga bisa melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan PMK 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang. PMK 187/PMK.03/2015 ini merupakan perubahan atas PMK 10/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang.
Dalam PMK 187/PMK.03/2015 Pasal 2 menyebutkan bahwa:
“Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal:
a. terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
b. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor;
c. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
d. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau
e. terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri.”
Selanjutnya dalam Pasal 3 menyebutkan:
“Pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat berupa:
a. pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;
b. pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
c. pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar; atau
d. pembayaran pajak terkait dengan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.”