Ekosistem Pelaporan, Sanksi & Implikasi Kepatuhan
Sumber: Freepik
PP 43/2025 tidak hanya menitikberatkan pada penyusunan dan penyampaian laporan keuangan semata, tetapi juga membangun sebuah ekosistem pelaporan yang lebih komprehensif. Pemerintah menyadari bahwa kualitas pelaporan keuangan tidak akan tercapai tanpa dukungan menyeluruh dari lembaga negara, otoritas sektor keuangan, serta kesiapan pelaku usaha itu sendiri. Oleh karena itu, bab mengenai dukungan ekosistem pelaporan keuangan memberikan penekanan bahwa kementerian/lembaga dan otoritas terkait wajib menyediakan asistensi yang memadai, mulai dari sosialisasi, pendampingan, hingga fasilitas teknis yang memungkinkan pelapor memahami dan menerapkan standar yang diwajibkan. Pendekatan asistif ini menjadi penting karena peraturan tidak hanya ingin menegakkan compliance, tetapi juga ingin membentuk budaya pelaporan yang baik, rapi, dan konsisten di seluruh sektor usaha, khususnya pelaku di sektor keuangan dan entitas yang berinteraksi dengan sektor tersebut.
Dalam ekosistem pelaporan yang diatur oleh PP 43/2025, perusahaan tidak hanya diharuskan menghasilkan laporan keuangan yang sesuai standar, tetapi juga menerapkan sistem pengendalian internal yang memadai. Pengendalian internal ini mengikuti prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan menjadi fondasi untuk memastikan bahwa proses penyusunan laporan dilakukan secara benar, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pelaporan keuangan tidak dipandang sebagai proses administratif akhir, tetapi sebagai rangkaian aktivitas yang mencerminkan integritas pengelolaan usaha secara keseluruhan. Secara implisit, ketentuan ini menegaskan bahwa perusahaan perlu meningkatkan kapasitas internal, mulai dari kompetensi penyusun laporan keuangan hingga keberadaan mekanisme review yang memadai sebelum laporan keuangan disampaikan ke regulator melalui PBPK.
Dalam rangka menjamin kepatuhan, PP 43/2025 juga mengatur mekanisme sanksi administratif secara tegas. Otoritas yang berwenang diberikan hak untuk menjatuhkan sanksi bagi pelapor yang tidak memenuhi kewajiban penyusunan atau penyampaian laporan keuangan. Ketentuan ini bersifat strategis karena memberikan efek deterrent bagi entitas yang sebelumnya mungkin tidak menempatkan pelaporan keuangan sebagai prioritas. Selain itu, pejabat atau pegawai pada kementerian/lembaga atau otoritas pengawas pun dapat dikenakan sanksi apabila melanggar ketentuan mengenai keamanan dan kerahasiaan data laporan keuangan. Pengaturan ini menunjukkan bahwa PP 43/2025 tidak hanya menuntut kepatuhan dari pelapor, tetapi juga menjaga integritas lembaga pengawas agar sistem pelaporan keuangan nasional dapat berjalan secara akuntabel dan dipercaya.
Ketentuan peralihan dalam PP ini menjadi elemen penting bagi pelaku usaha karena memberikan kepastian hukum selama masa transisi. Standar akuntansi keuangan yang selama ini ditetapkan oleh asosiasi profesi tetap berlaku sampai Komite Standar yang dibentuk berdasarkan PP ini menetapkan standar baru. Dengan demikian, tidak ada kekosongan hukum atau kebingungan bagi pelaku usaha maupun penyusun laporan keuangan dalam masa penyesuaian. Bagi praktisi perpajakan dan akuntansi, fase transisi ini menjadi ruang penting untuk memberikan pendampingan kepada klien dan mahasiswa agar memahami perubahan besar yang dibawa oleh PP ini terhadap tata kelola pelaporan keuangan di Indonesia.
Implikasi kepatuhan dari PP 43/2025 sangat luas dan tidak dapat dipandang hanya sebagai kewajiban pelaporan teknis. Perusahaan harus memastikan bahwa struktur organisasi, kompetensi personel, proses penyusunan laporan, serta sistem teknologi informasi yang digunakan sudah selaras dengan ketentuan. Kualitas pengendalian internal menjadi faktor penentu apakah perusahaan mampu menghasilkan laporan keuangan yang dapat diterima oleh regulator tanpa risiko koreksi atau sanksi. Tidak hanya itu, kewajiban penyimpanan laporan keuangan dalam jangka waktu tertentu dan keharusan menjaga keamanan data menambah dimensi baru dalam manajemen risiko perusahaan. Pelaku usaha perlu membangun kebijakan internal yang jelas mengenai manajemen arsip, sistem keamanan siber, serta prosedur akses data.
Di sisi lain, peluang yang muncul dari implementasi PP 43/2025 juga cukup signifikan. Dengan pelaporan keuangan yang lebih baik dan terstandarisasi, perusahaan dapat meningkatkan kredibilitasnya di mata investor, lembaga pembiayaan, dan mitra usaha lainnya. Ekosistem pelaporan yang kuat juga dapat memperkuat kepercayaan pasar, meningkatkan transparansi, dan pada akhirnya memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Bagi konsultan pajak dan manajer unsur keuangan, regulasi ini menjadi landasan penting untuk membantu perusahaan menyempurnakan proses pelaporan dan memastikan mereka tidak hanya patuh pada regulasi, tetapi juga lebih kompetitif dalam mendapatkan kepercayaan stakeholder.
Konsekuensinya, PP 43/2025 mengharuskan entitas usaha memperbarui pendekatan mereka terhadap pelaporan keuangan. Dengan adanya standar baru, sistem pelaporan elektronik, mekanisme pengawasan yang lebih ketat, serta kewajiban internal control yang semakin terstruktur, setiap pelaku usaha dituntut berinvestasi pada kualitas tata kelola keuangannya. Regulasi ini dapat menjadi tantangan bagi entitas dengan kesiapan yang minim, tetapi juga menjadi peluang untuk melakukan reformasi internal yang memperkuat daya saing bisnis.