Ekonomi Digital Mendunia, OECD: Yuk sepakati Dua Pilar!

Sumber:
oleh: Nadya A. Rangkuti
Perpajakan pada aspek transaksi cross-border alias lintas negara ini menjadi salah satu topik pembahasan yang hangat dalam forum G20 tahun lalu. Dunia, perekonomian Indonesia dan dan juga negara-negara lain sudah shifting ke arah era digitalisasi, semua serba canggih dan berbau teknologi tinggi. Generasi milenial pasti tidak merasa sulit untuk catch up di era sekarang, tapi di sisi lain perlu effort yang ekstra untuk beradaptasi bagi generasi X maupun baby boomer yang kira-kira seusia orangtua dan kakek-nenek kita.
Hal tersebut juga terjadi pada sistem ekonomi dan perpajakan global, perlu untuk ikut arus dan inovatif serta redekoratif, agar bisa adaptif dengan era ekonomi digital. Sistem perpajakan global dinilai lemah untuk mengakomodasi transaksional di masa sekarang sehingga dikhawatirkan dapat memperlebar celah penghindaran pajak. Kenapa para pemimpin dunia di setiap negara perlu untuk memberi perhatian khusus terhadap aspek perpajakan cross-border ini? Simple-nya adalah karena: yang pertama, kemajuan perekonomian dunia dan era digitalisasi terus berkembang antar-negara disusul dengan lebih banyak dibukanya kerja sama bilateral, dan yang kedua, karena pajak adalah sumber “nafas” kontribusi bagi setiap negara jadi pastinya pemimpin dunia merasa perlu untuk push it to the highest level untuk menetapkan benteng kepastian perpajakan supaya negara dan pelaku ekonomi sama-sama senang. Jadi, hal inilah yang disebut sebagai salah satu aksi untuk mencegah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan dalam forum G20 itu juga muncul dua pilar Utama yang disebut nantinya akan menjadi fondasi pemajakan ekonomi digital yang dalam perkembangannya diperluas untuk sektor perusahaan multinasional.
Berdasarkan informasi yang ada, per kuartal akhir tahun 2021, sudah ada 132 negara yang menyepakati dua pilar yang diajukan OECD ini. Tapi, dua pilar ini belum dicanangkan dan belum resmi di implementasikan. Rencananya, sepanjang tahun 2022 ini nanti akan dilakukan proses penandatanganan tanda persetujuan dari seluruh negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework (IF). Selain itu, negara anggota IF juga berkomitmen untuk menyelesaikan aspek teknis dari kedua pillar tersebut supaya mulai tahun 2023 nanti semua aturan dan landasan bisa mulai di implementasikan. Apa saja sih dua pillar yang di propose oleh OECD itu? Berikut uraian secara sederhana.
Pilar 1, adalah pendekatan pemajakan yang lebih adil bagi negara-negara yang menjadi pasar dari barang dan jasa digital serta seluruh sektor perusahaan multinasional dengan batasan peredaran bruto global minimal EUR20 miliar dan laba di atas 10%. Batasan ini rencananya jika pilar ini berhasil dilakukan, dalam waktu 7 tahun akan turun menjadi minimal EUR10 miliar. Perusahaan multinasional sektor jasa Keuangan dan industri ekstraktif (perkebunan, perhutanan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan lain-lain) dikecualikan dari kebijakan pilar 1. Kebijakan pilar 1 ini wajib di implementasikan oleh seluruh negara anggota IF dan mensyaratkan tiap negara untuk menghentikan kebijakan pajak digital yang sifatnya unilateral agar penerapan kebijakan pilar 1 bisa lebih menyeluruh dan tidak kontraproduktif.
Pilar 2, adalah pendekatan pemajakan yang menekan iklim kompetitif antar negara sekaligus melindungi basis pajak, melalui penetapan tarif pajak efektif PPh Badan minimum secara global. Pilar 2 ini terdiri dari 2 rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR). Terdengar lebih rumit sih tentunya dibanding Pilar 1.
Tapi sederhananya, pilar 2 ini mensyaratkan nantinya semua perusahaan multinasional harus membayar pajak minimum di negara manapun perusahaan tersebut beroperasi. Perusahaan membayar pajak minimum jika memiliki omset sebesar EUR750 juta atau lebih sehingga tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat antar negara. Tarif minimum pajak global saat ini telah disepakati sebesar 15%. Apabila ada selisih antara tarif pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif yang berlaku di suatu negara, bisa menjadi dua implikasi. Bisa jadi selisih tersebut dipajaki di negara domisili melalui penarikan penghasilan luar negeri yang ditarik ke negara domisili, dan/atau, melalui pembayaran kekurangan pajak yaitu biaya yang dibayarkan oleh perusahaan multinasional di negara domisili ke perusahaan multinasional di negara dengan tarif pajak rendah tidak dapat dibiayakan sehingga muncul eksposur kurang bayar.
Kalau melalui STTR, pendekatannya adalah pemberlakuan tarif withholding tax secara penuh tanpa reduced rate P3B apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain tidak membayar pajak di negara domisili.
Pilar 2 ini sifatnya tidak wajib seperti Pilar 1, namun suatu negara tetap harus tunduk apabila memiliki transaksi cross-border dengan negara yang mengimplementasikan kebijakan Pilar 2 ini.
Masih agak sulit untuk dicerna, wajar saja karena technical standing-nya belum terbentuk. Namun rasanya kita tetap perlu aware dengan rencana global ini. Semoga bermanfaat