Flash News 6 Oktober 2020
TOPIK PERPAJAKAN DAN PENERIMAAN
1. UU Cipta Kerja Memuat Ketentuan Pajak
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memasukkan sebagian besar substansi yang ada di 4 undang-undang mengenai perpajakan ke dalam UU Cipta Lapangan Kerja. Keempat UU tersebut adalah UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Dalam draf UU Cipta Kerja, revisi UU PPh mencakup sejumlah ketentuan. Di antaranya penegasan tentang objek pajak yang mencakup mekanisme pengecualian terhadap penghasilan bagi wajib pajak asing, PPh dividen, hingga pengenaan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto yang memberikan dividen, bunga, termasuk keuntungan karena pembebasan utang. Sementara itu, substansi terkait dengan UU PPN yang masuk dalam objek UU Cipta Kerja adalah penghapusan penyerahan barang kena pajak (BKP) secara konsinyasi hingga soal persoalan terkait dengan ketentuan terkait pengkreditan pajak. Adapun terkait dengan UU KUP, ada beberapa ketentuan yang menarik untuk dicermati. Salah satunya mengenai sanksi tentang pembentukan surat pemberitahuan (SPT) yang semula 2%, dalam UU ini besaran sanksinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Tak hanya itu, Omnibus Law Cipta Kerja juga memberikan batasan pengenaan sanksi maksimal hanya 24 bulan. Dalam UU KUP existing, pengenaan sanksi administrasi itu tak diberikan jangka waktu atau tergantung wajib pajak melakukan pembayaran. Selain itu, dalam UU yang disahkan kemarin, pemerintah memberikan keleluasan sanksi bunga atas kurang bayar atas ketidakbenaran pengisian SPT. Sebelumnya, UU KUP memberikan sanksi bunga sebesar 50%. Sejalan dengan disahkannya UU Cipta Kerja tersebut sanksi bunga hanya akan ditentukan berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% kemudian dibagi 12.
Menanggapi disahkannya omnibus law ini, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, pemerintah tak lagi memiliki ruang untuk menuntaskan Omnibus Law Perpajakan pascaterbitnya Perppu No. 1/2020 yang kemudian menjadi UU No. 2/2020. Pasalnya, dalam UU No. 2/2020 sejumlah poin penting yang sebelumnya termuat dalam Omnibus Law Perpajakan telah diakomodasi. “Mungkin karena tujuannya sama, yakni mendorong investasi,” kata dia.
Menurutnya, substansi dalam UU Cipta Kerja yang layak untuk dicermati adalah mengenai pajak daerah. Pertama, hal ini berkaitan dengan otonomi daerah, di mana intervensi dari pemerintah pusat dianggap memotong kewenangan pemerintah daerah. Kedua, sejauh ini pajak daerah dalam proporsi penerimaan daerah masih belum optimal. Jika pemerintah pusat mengintervensi lalu memotong kewenangan daerah, maka penerimaan pajak daerah berisiko turun dan ujungnya daerah makin bergantung pada pusat. Ketiga terkait dengan kepastian hukum. Kendati UU Cipta Kerja memberikan kemudahan, menurut Fajry selama UU yang eksis belum diubah akan menimbulkan kekacauan baru. Keempat, asumsi bahwa pajak daerah dianggap menjadi penghambat investasi. Perlu diingat, masalah utama dari investasi bukanlah besaran tarif yang ditetapkan ‘raja-raja lokal’, melainkan kepastian tarif. Tak kalah penting adalah menjaga transparansi. Jangan sampai pembahasan regulasi yang super besar ini dilakukan dengan senyap. (Bisnis Indonesia)
2. Tax Treaty Butuh Evaluasi
Pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty dengan sejumlah negara menyusul banyaknya korporasi yang melakukan pelanggaran melalui praktik treaty shopping. Dalam laporan yang dirilis oleh Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis (Centraal Planbureau/CPB), tertulis bahwa Indonesia mengalami kerugian dari praktik P3B atau tax treaty dengan Belanda, Hong Kong, serta Uni Emirat Arab. Khusus untuk perjanjian antara Indonesia dan Belanda, tulis laporan tersebut, sering dimanfaatkan oleh korporasi multinasional untuk melakukan penghindaran kewajiban pajak.
CPB mencatat, Indonesia kehilangan 53,8% dari total potensi penerimaan pajak dari dividen. Perjanjian dengan Belanda dan Hong Kong berkontribusi masing-masing sebesar 58,2% dan 41,8% terhadap total potensi penerimaan pajak dari dividen yang hilang. Adapun potensi penerimaan pajak dari pembayaran bunga serta royalty yang hilang mencapai 44,1% dan 46,6% dari potensi penerimaan aslinya. Potensi penerimaan pajak dari pembayaran bunga yang hilang dari perjanjian antara Indonesia dan Belanda serta Indonesia dengan Uni Emirat Arab masing-masing sebesar 50%. Khusus royalti, total penerimaan pajak yang hilang akibat perjanjian antara Indonesia dan Uni Emirat Arab serta Indonesia dan Hong Kong, di mana perjanjian antara Indonesia dan Uni Emirat Arab bertanggung jawab atas 97% dari total potensi penerimaan pajak atas royalti yang hilang. (Bisnis Indonesia)
TOPIK EKONOMI DAN BISNIS
1. OECD: Indonesia Harus Agresif Melawan Korona
OECD menilai Indonesia dan Filipina belum tegas memberlakukan penguncian wilayah atau lockdown untuk mengantisipasi penyebaran virus korona. Terutama Indonesia yang dinilai penambahan kasusnya masih tinggi.
OECD berharap Indonesia harus agresif melawan korona dengan melakukan pembiayaan di sektor kesehatan, serta tindakan tegas terhadap pelanggaran disiplin dan ini hanya bisa dilakukan dengan komunikasi yang konsisten dari pemerintah. Sebab pemerintah tengah berusaha untuk meringankan penderitaan ekonomi lewat berbagai stimulus dengan mengorbankan ketegangan fiskal yang semakin besar. (Kontan)
2. BI: Laju Ekonomi Paruh Kedua Mulai Ada Perbaikan
BI memperkirakan kondisi perekonomian pada paruh kedua tahun ini sudah mulai menunjukkan adanya perbaikan. Menurut Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo perekonomian Indonesia Q3-2020 membaik dari kontraksi di Q2-2020. Perbaikan ekonomi ini didukung oleh peningkatan realisasi stimulus fiskal dengan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), bauran kebijakan moneter yang diguyur BI, serta program restrukturisasi kredit dunia usaha. Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi juga didukung digitalisasi yang semakin maju terutama dalam bidang pembayaran dan juga komunikasi. (Kontan)