Flash News 19 Agustus 2020
TOPIK PERPAJAKAN DAN PENERIMAAN
1. Insentif Pajak Perlu Dievaluasi
Pemerintah akan menerbitkan insentif pajak pada 2021, di antaranya percepatan restitusi pajak pertambahan nilai, insentif pajak penghasilan 22 impor, pembebasan pajak, dan pengurangan pajak. Tahun ini, per 7 Agustus, realisasi penyerapan insentif pajak masih rendah, yakni 13,7 persen. Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, pemberian insentif pajak pada 2021 perlu dievaluasi. "Kalau insentif diberikan kepada perusahaan atau sektor usaha yang tidak tepat, maka tidak akan meningkatkan produktivitas," kata Fajry.
Pagu anggaran untuk insentif pajak bagi dunia usaha dan korporasi 2021 tersebut sebesar Rp 20,4 triliun jauh lebih kecil cuma 16,9% dari total alokasi insentif perpajakan 2020 yang sebesar Rp 120,61 triliun. (Kompas & Kontan)
TOPIK EKONOMI DAN BISNIS
1. Neraca Pembayaran Surplus US$ 9,24 M
Neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II surplus US$ 9,24 miliar. Angka ini mengalami pembalikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang defisit US$ 8,54 miliar. Kinerja NPI tersebut didukung oleh menurunnya defisit transaksi berjalan serta besarnya surplus transaksi modal dan finansial. Sejalan dengan perkembangan surplus NPI, posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2020 meningkat menjadi sebesar US$ 131,7 miliar. Surplus NPI, antara lain, disebabkan oleh defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia pada kuartal II-2020 yang membaik menjadi US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% produk domestik bruto (PDB). (Investor Daily)
2. Surplus Neraca Perdagangan Juli 2020 Membaik
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2020 mengalami surplus US$ 3,26 miliar. “Surplus ini jauh lebih besar dibandingkan surplus pada Juni 2020 dan juga jauh lebih besar dibandingkan Juli 2019 di mana kita waktu itu mengalami defisit US$ 0,28 miliar,” kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto. Ia menyampaikan, nilai ekspor Indonesia pada Juli 2020 yang mencapai US$ 13,73 miliar itu meningkat 14,33% dibanding ekspor Juni 2020. Sementara dibanding Juli 2019 nilainya menurun 9,90%. Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Juli 2020 yang mencapai US$ 10,47 miliar atau turun 2,73% dibandingkan Juni 2020, dan dibandingkan Juli 2019 turun 32,55%. (Investor Daily)
3. Suku Bunga Diprediksi Tetap
Bank Indonesia (BI) diprediksi mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate di level 4% dalam rapat dewan gubernur (RDG) bulan ini. Menurut Ekonom Institut Kajian Strategis Eric Alexan-der Sugandi, pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut dikhawatirkan menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Dan tidak banyak manfaatnya (penurunan suku bunga) untuk mendorong pertumbuhan kredit karena sisi permintaan kredit yang masih lemah berkaitan dengan melemahnya daya beli masyarakat. Peran bank sentral harus dimaksimalkan untuk memfasilitasi sisi suplai kredit.
Sementara itu, dari sisi demand terhadap kredit masih lemah sejalan dengan belum agresifnya investor riil dalam melakukan ekspansi karena konsumsi rumah tangga yang masih tertekan. “Sampai akhir tahun saya ekspektasikan suku bunga acuan tetap 4%” .
Dewan gubernur perlu mempertimbangkan berbagai hal sebelum memanfaatkan ruang terbatas pelonggaran moneter tersebut. “Yaitu tren kenaikan inflasi global, indikator yang mendukung pemulihan kuartal III/2020, serta volatilitas rupiah”. (Bisnis Indonesia)
4. Harga Komoditas Topang Kenaikan Ekspor
Naiknya nilai ekspor pada bulan Juli dibanding bulan sebelumnya salah satunya dipicu oleh harga logam mulia yang melejit. Ketidakpastian ekonomi global menyebabkan investor cenderung memilih investasi aman seperti logam mulia atau emas. Permintaan logam mulia mengalami kenaikan yang cukup dahsyat sehingga terjadi peningkatan harga yang signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor logam mulia, perhiasan, atau permata naik paling tinggi diantara komoditas lainnya yaitu sebesar US$ 452,7 juta dibanding pada Juni lalu. Kontribusinya terhadap ekspor relatif tinggi, naik dari US$ 12,01 miliar menjadi US$ 13,73 miliar. Konsumsi energi global seperti batu bara, minyak, dan gas masih negatif. Pertumbuhan ekspor pertambangan tercatat masih minus 31,10 persen secara tahunan. (Tempo)