Flash News 16 Juni 2020
TOPIK PERPAJAKAN DAN PENERIMAAN
1. Pemeriksaan dan Pengawasan Digenjot
Dalam SE No. 34/PJ/2020, DJP menekankan peningkatan kepatuhan WP mencakup aktivitas pengawasan, ekstensifikasi, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, forensik digital, penagihan, penilaian, hingga keberatan dan non keberatan. Direktur Penyuluhan Pelayanan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama menjelaskan, substansi beleid ini memang tak mengatur soal WP yang akan menjadi sasaran aktivitas pengawasan atau pemeriksaan tersebut. Regulasi ini hanya mengatur mekanisme pengawasan dalam masa kenormalan baru. Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, secara umum dampak dari suatu kebijakan fiskal baru dapat terasa setelah 1-3 tahun ke depan. Untuk itu, kebijakan yang dirilis oleh otoritas pajak menurutnya harus berkesinambungan sehingga dampak yang dirasakan oleh pemerintah dari sisi penerimaan juga bisa simultan.
Data Kemenkeu menunjukkan, kinerja penerimaan pajak sampai April 2020 terkontraksi hingga 3,09%. Anjloknya kinerja penerimaan ini merupakan konsekuensi dari pelemahan aktivitas ekonomi yang tertekan pandemi. Selain PPN, PPh badan juga tercatat terjun bebas. Setoran pajak korporasi bahkan terkontraksi hingga 15,23%. (Bisnis Indonesia)
TOPIK EKONOMI DAN BISNIS
1. Korona Menyebabkan Ekspor Impor Gempor
Kebijakan PSBB dalam dua bulan terakhir cukup mengganggu kinerja perdagangan Indonesia. Nilai impor dan ekspor Indonesia pada Mei 2020 tercatat sangat rendah yaitu nilai impor sebesar US$8,44 miliar atau rekor terendah sejak tahun 2009 dan nilai ekspor sebesar US$10,53 miliar atau terendah sejak Juli 2016.
Penurunan impor terjadi pada semua kelompok penggunaan barang, baik barang konsumsi, bahan baku penolong, dan barang modal. Penurunan ekspor juga terjadi pada semua sektor, baik pertanian, industri pengolahan, pertambangan, dll. Pendapat dari Ekonom BCA David Samual, Kepala Ekonom Danareksa Moekti Prasetiani, dan Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan bahwa kebijakan new normal dapat meningkatkan kembali aktivitas ekonomi. (Kontan)
2. Empat Risiko Kenaikan Utang Luar Negeri (ULN)
Jumlah ULN Indonesia kembali meningkat dikarenakan tekanan akibat pandemi Covid-19. Dari data BI, posisi ULN pada akhir April 2020 sebesar US$400,2 miliar (meningkat 2,9% yoy), terdiri dari ULN pemerintah sebesar US$189,7 miliar dan utang swasta sebesar US$207,8 miliar.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara memberikan empat catatan. Pertama, risiko debt to service ratio (DSR) bisa cenderung memburuk dari kuartal IV 2019 dari 18% menjadi 27,6% di kuartal I 2020. Kedua, kenaikan rasio utang terhadap PDB menjadi 36,5%. Bhima memprediksi bisa meningkat sebesar 40-45% sejalan dengan potensi pertumbuhan ekonomi negatif. Ketiga, tren perlambatan ULN swasta menjadi tanda tertahannya ekspansi perusahaan. Keempat, fluktuasi kurs dan arah suku bunga. Beliau menilai pemerintah cukup gencar menawarkan utang dengan yield tinggi. Akibatnya, swasta juga ingin menerbitkan obligasi valas dan meningkatkan suku bunga. Alhasil, perebutan dana yang ketat akan membuat beban pembayaran bunga swasta menjadi lebih mahal. (Kontan)
3. Industri Perbankan Nasional Masih Kuat
Kalangan bankir dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai hingga saat ini kondisi perbankan nasional secara keseluruhan masih dalam kondisi sehat dan kuat. Hal ini tercermin pada rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang tebal, sebesar 22,13% per April 2020.
"Dilihat dari CAR perbankan yang masih di atas 20% per April, so far keseluruhan kondisi bank bagus. Kalau CAR semua bank relatif masih tinggi-tinggi," ujar Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Aviliansi kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (12/6).
Berdasarkan data OJK per April, rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) per APril 2020 terpantau pada level 117,8% dan 25,14%, jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%. (Investor Daily)