Senin-Jumat, Pukul 08.00-17.00 WIB

WISMA KORINDO Lt. 5 MT. Haryono Kav. 62, Pancoran Jakarta Selatan 12780

(021) 79182328

03 October 2025

Tax Avoidance: Batas Legal dan Dilema Etika dalam Perpajakan

Hero

Sumber: Freepik

Pajak adalah tulang punggung pendapatan negara, digunakan untuk membiayai pembangunan dan layanan publik. Namun, bagi wajib pajak—baik individu maupun korporasi—beban pajak seringkali dianggap memberatkan. Dalam upaya meminimalkan kewajiban ini, muncul istilah tax avoidance atau penghindaran pajak.

 

Apa Itu Tax Avoidance?

Tax avoidance adalah tindakan legal yang dilakukan wajib pajak untuk meminimalkan atau mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Praktik ini dilakukan dengan memanfaatkan celah (loopholes) atau ketentuan-ketentuan tertentu yang diizinkan dalam undang-undang perpajakan.

 

Intinya, tax avoidance bergerak dalam ranah yang abu-abu: ia tidak melanggar huruf undang-undang (letter of the law), namun seringkali dianggap bertentangan dengan semangat undang-undang (spirit of the law) yang bertujuan untuk mengumpulkan pendapatan negara secara adil.

 

Perbedaan Krusial dengan Tax Evasion

Seringkali tax avoidance disamakan dengan tax evasion. Padahal, keduanya adalah hal yang sangat berbeda dan memiliki konsekuensi hukum yang berlawanan:

 

Aspek

Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)

Tax Evasion (Penyelundupan Pajak)

Legalitas

Legal (sah di mata hukum)

Ilegal (melanggar undang-undang)

Metode

Memanfaatkan celah atau ketentuan legal (misalnya, tax deduction, tax credit, pemilihan bentuk transaksi yang efisien pajak)

Melanggar hukum dengan cara menyembunyikan atau memalsukan data (misalnya, melaporkan pendapatan lebih rendah, membuat faktur fiktif)

Sanksi

Tidak ada sanksi pidana. Otoritas pajak mungkin menantang atau mengenakan penyesuaian (koreksi)

Sanksi berat berupa denda, bunga, hingga hukuman penjara

 

Analogi sederhana: tax avoidance seperti menggunakan kupon diskon yang sah saat berbelanja untuk mengurangi biaya. Sementara tax evasion seperti mencuri barang atau memalsukan kupon.

 

Bentuk-Bentuk Tax Avoidance

Tax avoidance dapat dilakukan melalui berbagai skema, terutama pada perusahaan multinasional yang memanfaatkan perbedaan aturan pajak antarnegara (tax jurisdiction). Beberapa contoh praktik yang sering menjadi perhatian adalah:

  1. Transfer Pricing: transaksi yang dilakukan antara perusahaan-perusahaan yang terafiliasi (satu grup) di berbagai negara dengan harga yang tidak wajar (tidak sesuai harga pasar). Tujuannya adalah menggeser laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven).
  2. Thin Capitalization: strategi perusahaan untuk memperbesar utang kepada pemegang saham atau pihak terafiliasi, sehingga dapat membebankan biaya bunga yang besar dan mengurangi laba kena pajak. Negara memiliki aturan rasio utang dan modal (Debt to Equity Ratio/DER) untuk membatasi hal ini.
  3. Controlled Foreign Corporation (CFC) Schemes: perusahaan di suatu negara (misalnya Indonesia) mendirikan anak perusahaan di negara dengan pajak rendah (tax haven) untuk menunda pengenaan pajak atas laba yang ditahan di anak perusahaan tersebut.
  4. Tax Planning yang Wajar: penggunaan insentif pajak yang memang disiapkan oleh pemerintah, seperti pemanfaatan fasilitas tax holiday atau tax allowance yang diberikan untuk investasi di sektor atau wilayah tertentu. (Ini sering disebut sebagai Tax Mitigation).

 

Meskipun legal, praktik tax avoidance memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama jika dilakukan secara agresif (aggressive tax avoidance):

  1. Penurunan Penerimaan Negara: ini adalah dampak paling jelas. Berkurangnya pendapatan pajak berarti berkurangnya dana yang tersedia untuk membiayai sektor-sektor penting seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan subsidi.
  2. Ketidakadilan Pajak: praktik ini seringkali hanya bisa dilakukan secara masif oleh perusahaan besar atau individu dengan kekayaan tinggi yang memiliki akses ke konsultan pajak dan struktur hukum yang kompleks. Hal ini menciptakan persepsi ketidakadilan bagi wajib pajak kecil dan menengah.
  3. Kecurigaan dan Biaya Kepatuhan: untuk melawan tax avoidance yang agresif, pemerintah harus mengeluarkan peraturan anti-penghindaran pajak (Anti-Avoidance Rules) yang lebih kompleks, seperti aturan Substance Over Form (melihat substansi di balik bentuk transaksi). Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan biaya kepatuhan bagi wajib pajak yang jujur.
  4. Ancaman terhadap Integritas Sistem Pajak Global: skema tax avoidance lintas batas telah mendorong upaya kolaborasi global seperti kerangka Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) oleh OECD dan G20, yang bertujuan untuk menutup celah-celah pajak internasional.

 

Upaya Indonesia Melawan Tax Avoidance

Pemerintah Indonesia telah berupaya keras untuk membatasi aggressive tax avoidance melalui berbagai peraturan, termasuk:

  • Penerapan aturan Transfer Pricing (Pasal 18 UU PPh)
  • Aturan Thin Capitalization (Pembatasan rasio utang dan modal)
  • Aturan Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh) untuk mencegah penundaan dividen
  • Penerapan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle)

 

Secara keseluruhan, tax avoidance adalah bagian tak terhindarkan dari sistem perpajakan yang kompleks. Selama masih ada insentif untuk mengurangi biaya dan celah dalam hukum, wajib pajak akan terus mencari cara untuk meminimalkan kewajiban pajaknya. Tantangan bagi pemerintah adalah memastikan bahwa sistem pajak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, namun pada saat yang sama mampu mengumpulkan pendapatan yang cukup secara adil dan mencegah praktik penghindaran pajak yang mencederai etika dan kepentingan publik.