Senin-Jumat, Pukul 08.00-17.00 WIB

WISMA KORINDO Lt. 5 MT. Haryono Kav. 62, Pancoran Jakarta Selatan 12780

(021) 79182328

15 July 2025

Ketentuan Baru Terkait Sengketa di Pengadilan Pajak

Hero

Sumber: Freepik

Pada akhir tahun 2024, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2024 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Secara umum, Surat Edaran ini berisi mengenai pedoman pelaksanaan tugas pengadilan, termasuk Pengadilan Pajak.

Dalam Surat Edaran tersebut, terdapat 2 (dua) putusan yang berpengaruh terhadap proses Peradilan Pajak. Pertama, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan peninjauan kembali sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2024, kecuali dalam hal:
a.    ditemukannya bukti baru (novum);
b.    adanya 2 (dua) atau lebih putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) yang saling bertentangan; atau
c.    mempertahankan kepentingan hak keperdataan badan atau pejabat tata usaha negara (aset negara atau daerah).

Undang-Undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Hal ini berarti, baik DJP maupun Wajib Pajak dapat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, dalam hal tidak puas atas Putusan Pengadilan Pajak. Namun, berdasarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2024, Pejabat Tata Usaha Negara, dalam hal ini DJP, hanya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila menemukan bukti baru, menemukan adanya putusan inkrah yang bertentangan atau mempertahankan kepentingan hak keperdataan badan atau pejabatnya. Hal ini tentu menjadi kesempatan bagi Wajib Pajak untuk lebih mengatur strategi dalam upaya memenangkan proses banding di Pengadilan Pajak dan mengurangi kesempatan DJP untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Kedua, Mahkamah Agung juga mengatur bahwa bukti yang berada dalam pengawasan Wajib Pajak dan sudah diminta secara terperinci dan maksimal dalam waktu yang layak oleh DJP, namun tetap tidak diserahkan pada saat pemeriksaan pajak dan/atau keberatan, tidak dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak dan/atau Mahkamah Agung.

Undang-Undang Pengadilan Pajak tidak mengatur secara jelas, apakah surat atau bukti yang telah diminta dalam proses pemeriksaan atau proses keberatan yang belum disampaikan dan baru dapat disampaikan di proses banding dapat digunakan sebagai alat bukti. Sehingga, Wajib Pajak berasumsi atas data tersebut dapat diajukan sebagai alat bukti di proses banding. Namun, berdasarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2024, Mahkamah Agung secara jelas menegaskan bahwa data yang sebelumnya telah diminta dalam proses pemeriksaan dan keberatan namun tidak diberikan oleh Wajib Pajak, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Tapi, perlu menjadi perhatian Wajib Pajak, bahwa apabila pemeriksa atau penelaah keberatan tidak meminta data tersebut dalam proses pemeriksaan atau keberatan, Wajib Pajak seharusnya tetap dapat mengajukan data tersebut sebagai bukti baru dalam persidangan.