Indikasi Tindak Pidana Pajak Pemicu Pemeriksaan Bukti Permulaan

Sumber: Freepik
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima atau diperoleh, dikembangkan, dan dianalisis melalui kegiatan pengamatan. Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Terdapat sembilan indikasi tindak pidana perpajakan yang dapat memicu pemeriksaan bukti permulaan yang dengan sengaja dilakukan oleh Wajib Pajak, yaitu:
- Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
- Menyalahgunakan NPWP atau PKP.
- Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).
- Wajib Pajak menyampaikan SPT namun isinya tidak benar atau tidak lengkap.
- Wajib Pajak menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
- Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
- Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia atau tidak memperlihatkan dan tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain.
- Tindakan Wajib Pajak yang memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan sebenarnya juga menjadi pemicu pemeriksaan bukti permulaan.
- Wajib Pajak tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain dalam jangka waktu yang ditentukan.
Pemeriksaan bukti permulaan tidak ditujukan hanya kepada Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Menurut DJP, siapa saja yang terindikasi melakukan suatu tindak pidana di bidang perpajakan, baik yang memiliki NPWP atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan.