The Global Dangers of Rising US Inflation
Para pemangku kebijakan publik di banyak negara kini mesti bersiaga kalau-kalau bank sentral Amerika Serikat menaikkan tingkat suku bunga mereka dalam kurun waktu yang lebih dini dari pada yang semula diprediksikan. Hal ini lantaran percepatan inflasi di Amerika Serikat terus saja meningkat, bahkan kenaikan indeks harga konsumen telah mencapai 5% year on year terhitung Mei. Bank sentral Amerika sendiri telah meningkatkan secara signifikan prediksi inflasi mereka.
Percepatan inflasi itu disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat temporer maupun yang bersifat struktural. Menurunnya tingkat produksi yang disebabkan oleh pandemi dibarengi dengan tingkat permintaan rumah tangga yang terjaga berkat stimulus dari pemerintah merupakan faktor temporer semacam itu. Di sisi lain, secara struktural, Amerika Serikat sejak 2008 terus mempertahankan kebijakan moneter ekspansif bahkan ketika tingkat pengangguran rendah. Selain itu, kebijakan pemerintahan Donald Trump untuk mengenakan tarif tinggi pada produk-produk dari Cina juga berimbas pada meningkatnya harga barang-barang yang diadakan melalui impor, baik itu dari Cina sendiri maupun dari negara-negara lain seperti Vietnam dan Meksiko. Ada pula pengaruh yang disebabkan oleh kebijakan pemotongan pajak oleh Trump dan stimulus fiskal era Trump maupun Biden yang membuat tingkat rerata permintaan menjadi meningkat dan dengan itu mendorong harga-harga terus melambung.
Hal pertama yang perlu diantisipasi sebagai dampak dari percepatan inflasi ini adalah kemungkinan bank sentral Amerika untuk memperketat kebijakan moneter mereka secara tiba-tiba. Andai kata bank sentral Amerika tidak dapat menekan tingkat inflasi ke angka 2% sebagaimana ditargetkan, bukan tidak mungkin tingkat inflasi mampu menembus angka 5% kecuali bank sentral mengeremnya dengan meningkatkan tingkat suku bunga secara signifikan.
Bilamana peningkatan tingkat suku bunga itu benar diambil, maka negara-negara yang berpotensi terdampak buruk karenanya dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, negara-negara yang banyak mengandalkan utang luar negeri jangka pendek dan memiliki cadangan devisa yang kecil akan rentan mengalami krisis utang dan perbankan. Kedua, negara-negara dengan sistem kurs tetap yang ditaksir terlalu tinggi (overvalued fixed exchange rate) rentan terjerembab pada krisis mata uang dan nilai tukar. Negara-negara yang notabene tidak rentan seperti Cina pun perlu mewaspadai kemungkinan inflasi yang “terimpor” ke sana. Untuk mencegah hal itu terjadi, Cina sebaiknya mengetatkan suplai likuiditasnya disertai dengan langkah-langkah untuk membuat nilai tukar mereka lebih fleksibel ataupun dengan mengencangkan kontrol mereka atas modal.
Kini, negara-negara di dunia memiliki waktu kurang-lebih enam bulan untuk mempersiapkan langkah-langkah antisipatif sebelum Amerika Serikat tiba-tiba mengetatkan kebijakan moneter mereka. Negara-negara itu sebaiknya membuat nilai tukar mereka lebih fleksibel, mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri, dan meningkatkan cadangan devisa negara.
Sumber: Project Syndicate, 9 Juli 2021 | Oleh: Shang-Jin Wei