Flash News 2 November 2020
<hr /> <p><strong>TOPIK PERPAJAKAN DAN PENERIMAAN</strong></p> <hr /> <p style="margin-bottom:11px"> </p> <p style="margin-bottom:11px"><strong><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">1. Pertukaran Data Informasi Keuangan Berlanjut</span></span></span></strong></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Setelah sempat terkendala pandemi Covid-19, pemerintah kembali melakukan pertukaran informasi keuangan melalui skema AEoI. "Indonesia akan menerima data AEoI dari 103 yurisdiksi dan sebaliknya akan mengirim data AEoI kepada 85 yurisdiksi," kata Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, John Hutagaol, pekan lalu. Dalam kondisi normal, OJK akan menyampaikan data AEoI kepada Ditjen Pajak paling lambat akhir Agustus. Namun pada tahun ini otoritas terkait memberikan relaksasi 2 bulan yaitu maksimal akhir bulan lalu. Selanjutnya, otoritas pajak mengirimkan data AEoI tersebut ke yurisdiksi mitra paling lambat akhir November 2020.</span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Skema pertukaran informasi keuangan muncul seiring dengan marak dan beragamnya praktik penghindaran pajak melalui transaksi lintas batas yurisdiksi. Otoritas pajak telah menjalankan AEoI sejak 2018. Sejak 2018, pemerintah telah menerima lebih dari 1,6 juta informasi keuangan senilai lebih dari 246,6 miliar euro. (Bisnis Indonesia)</span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"> </p> <hr /> <p><strong>TOPIK EKONOMI DAN BISNIS</strong></p> <hr /> <p style="margin-bottom:11px"> </p> <p style="margin-bottom:11px"><strong><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">1. Upah Bukan Faktor Penentu</span></span></span></strong></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap segenap sektor usaha, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan upah minimum tahun 2021. Kebijakan itu dianggap sebagai jalan tengah atas kepentingan buruh dan pengusaha di tengah situasi yang tidak mudah. Kebijakan yang dituangkan melalui Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan itu diikuti oleh 30 provinsi yang menetapkan upah minimum 2021 sama dengan upah minimum 2020. </span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, SE diterbitkan sebagai panduan atau pedoman bagi kepala daerah untuk mengatasi kondisi di daerahnya masing-masing. Keputusan penetapan UMP memang merupakan ranah pemerintah provinsi. </span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri menyatakan, memang ada pandangan investor asing yang menilai aturan pengupahan di Indonesia terlalu ketat dan mahal. Namun, upah murah bukan faktor penentu daya tarik investasi. Investor lebih membutuhkan kepastian regulasi serta birokrasi yang efisien dibandingkan buruh yang bisa diupah murah, tetapi tanpa jaminan produktivitas. (Kompas) </span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"> </p> <p style="margin-bottom:11px"><strong><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">2. Terobosan Regulasi Dibutuhkan untuk Dukungan Ekonomi Digital</span></span></span></strong></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Dukungan kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk mewujudkan pasar ekonomi digital Indonesia yang diprediksi mencapai US$ 133 miliar pada 2025. Terobosan regulasi yang lebih inklusif dan kemudahan kepada pihak-pihak yang ingin berinvestasi di ekosistem ekonomi digital sangat diperlukan. Sosialisasi dan literasi yang masif, disertai peningkatan keterampilan digital menjadi hal yang mendesak.</span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Demikian pandangan sejumlah pelaku ekonomi digital tentang prasyarat untuk mencapai target pasar ekonomi digital sebesar US$ 133 miliar sebagaimana hasil riset Google & Temasek bertajuk e-Conomy SEA 2019.</span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">President of Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata melihat bahwa perkembangan ekonomi digital Indonesia selama satu dekade terakhir terus meningkat. Kemudahan teknologi dan Komunikasi yang didorong tingginya tingkat penetrasi dan pengguna internet telah mengubah pola keseharian masyarakat, mulai dari cara belanja, bepergian, hingga membeli makanan.</span></span></span></p> <p style="margin-bottom:11px"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Untuk memajukan ekonomi digital dan mencapai target seperti proyeksi riset Google dan Temasek yang menyebut pasar ekonomi digital Indonesia tahun 2025 mencapai US$ 133 miliar. masyarakat Indonesia harus memiliki literasi dan keterampilan digital agar dapat bersaing di ekosistem digital yang akan terus berkembang. (Investor Daily)</span></span></span></p> <p> </p>