Flash News 13 Oktober 2020
TOPIK PERPAJAKAN DAN PENERIMAAN
1. Penerimaan Pajak Akan Digenjot Lagi Tahun 2021
Pemerintah optimis pajak tahun depan akan meningkat lagi kendati pandemi Covid-19 belum berlalu. Hitungan BKF penerimaan pajak tahun depan bisa tumbuh sekitar 8%, dengan target pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 3%.
Untuk mencapai target, DJP mempersiapkan 5 hal untuk reformasi perpajakan 2021. Pertama, optimalisasi PMSE. Kedua, ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan wilayah. Ketiga, pemeriksaan, penagihan, dan penegakan hukum yang berbasis risiko dan berkeadilan. Keempat, meneruskan reformasi perpajakan bidang organisasi, SDM, teknologi informasi, basis data, proses bisnis, serta peraturan perpajakan. Kelima, pengembangan fasilitas kepabeanan dan harmonisasi fasilitas lintas Kementerian/Lembaga. (Kontan)
TOPIK EKONOMI DAN BISNIS
1. Timbul Tenggelam Pasal Intervensi
UU Cipta Kerja yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR 5 Oktober lalu itu terdiri dari 905 halaman, dan memuat pasal sisipan yakni Pasal 156A dan Pasal 156B. Pasal sisipan tersebut berisi tentang kewenangan pemerintah pusat untuk mengintervensi penentuan tarif pajak dan retribusi daerah. Bisnis kemudian menerima draf UU Cipta Kerja setebal 1.035 halaman. Dalam UU Cipta Kerja versi ini, klausul mengenai intervensi pemerintah pusat terhadap tarif pajak dan retribusi di daerah dihapus. Hal inipun telah dikonïŽrmasi oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Timbul tenggelamnya ‘pasal intervensi’ ini mengindikasikan bahwa antara pemerintah dan DPR cukup gamang. Pasalnya, klausul tersebut sempat mendapat penolakan deras dari daerah. Saat dimintai tanggapan, Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pajak dan retribusi daerah harus diletakkan dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah. Kewenangan untuk melakukan intervensi oleh pemerintah pusat sebelumnya tertuang dalam draf UU Cipta Kerja yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat Sidang Paripurna pada 5 Oktober 2020. Ketentuan itu tepatnya berada di bagian tentang kebijakan ïŽskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi.
Ada dua bentuk intervensi yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Pertama, mengubah tarif pajak dan tarif retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional. Kedua, mengawasi dan mengevaluasi peraturan daerah (perda) mengenai pajak dan retribusi yang bagi pemerintah pusat dianggap menghambat ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Saat melakukan pengawasan, sesuai UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR itu, Menteri Keuangan memiliki kekuasaan untuk mengevaluasi, baik rancangan peraturan daerah (raperda) maupun perda existing.
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan raperda. Artinya, jika kebijakan disetujui, daerah bisa langsung menetapkan kebijakan tersebut sebagai peraturan. Sebaliknya, jika raperda ditolak oleh menteri keuangan, pemda dan DPRD wajib memperbaiki dan menyampaikan kembali ke pemerintah pusat. Jika dalam 15 hari pemda belum mengubah perda (existing), Menteri Keuangan akan memberikan sanksi berupa penundaan pengalokasian dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH). Di sisi lain, perubahan substansi tersebut melanggar UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU itu menyatakan bahwa sebuah rancangan UU (RUU) yang telah disepakati secara prinsip tidak bisa diubah substansinya. (Bisnis Indonesia)
2. Pemerintah Belum Pastikan Intervensi Pajak Daerah
Pemerintah menyatakan tidak akan melakukan intervensi pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Pemerintah pusat lebih memilih cara berdiskusi dengan pemerintah daerah mengenai efektivitas pengenaan pajak oleh daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan dampaknya secara nasional.
Kepala BKF Febrio Kacaribu menjelaskan hingga kini pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih mengkaji lebih lanjut terkait dampak dari implementasi tarif nasional PDRD dan insentif daerah. Dan pemerintah juga masih perlu melihat sinkronisasi antara pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah yang digunakan dan bisa dihitung dengan menyiapkan TKDD sebagai instrument dan keterhubungan fiskal daerah sebagai instrumen. (Kontan)